16 October 2009

Mahalnya Sebuah Keyakinan


Rasulullah s.a.w. sangat menghargai perasaan dan sikap tulus yang ditunjukkan oleh umatnya kepada beliau. Pada suatu hari Rasulullah s.a.w. berminat membeli seekor kuda dari seorang Badui bernama Sawa` ibn Qais al-Muharibi, yang sedang menariknya menuju ke pasar Madinah. Tawar-menawar antara keduanya berlangsung, dan transaksi jual-beli pun terjadi. Rasul s.a.w. segera menuju ke rumah beliau untuk mengambil wang pembayaran harga kuda tersebut. Beliau berjalan cepat menuju ke rumah, dan meminta Sawa` ibn Qais untuk mengikutinya. Namun si pemilik kuda hanya berjalan santai, sengaja memperlambat langkahnya. Bahkan ia masih saja terus melayani setiap orang yang berpapasan dengannya yang menawar kuda bawaannya itu. Mereka tidak tahu bahwa kuda itu sudah laku terjual kepada Rasulullah s.a.w.

Dalam perjalanan itu Sawa` ibn Qais al-Muharibi mendapatkan pembeli lain yang berani membayar lebih tinggi dari harga yang telah disepakatinya dengan Rasulullah s.a.w. Maka ia pun bergegas menyusul Rasulullah, dan menghampiri beliau seraya berkata: “Apakah Anda jadi membelinya? Kalau tidak, biarlah aku menjualnya kepada orang lain.”

Rasulullah s.a.w. kini menyadari kenapa Sawa` ibn Qais tidak mau berjalan bersama-sama dengannya. Rupanya sesuatu yang tak diharapkan telah terjadi. Namun beliau tetap tenang dan ramah sebagaimana sikap beliau kepada setiap orang.

“Lho, bukankah engkau telah menjualnya kepadaku? Dan sekarang ini kita sedang menuju kediamanku. Aku akan membayar kepadamu harga yang telah kita sepakati bersama tadi,” jawab Rasulullah kepadanya dengan lembut.

“Ah, Anda keliru. Demi Allah, aku memang memutuskan menjualnya kepada Anda, tapi tidak ada harga yang kita sepakati bersama.”

“Kenapa secepat itu kamu menjadi pelupa?” Rasulullah s.a.w. membujuknya agar kembali bersikap jujur.

Sawa’ ibn Qais ngotot, “Tidak, itu tidak benar. Aku belum menjual kudaku ini kepadamu. Sekarang aku telah mendapatkan orang lain yang memberi penawaran yang lebih tinggi dari penawaranmu. Kalau Anda bersedia membayar seperti yang ia tawarkan, silakan. Kalau tidak…. ya terpaksa kujual kudaku ini kepada orang itu,” begitu ancamnya.

Mendengar ada perselisihan, orang-orang yang berada di lokasi itu mulai berdatangan mendekati mereka berdua, dan akhirnya khabar itu merebak luas. Mengetahui duduk persoalannya, beberapa sahabat Rasulullah yang kebetulan ada di tempat itu merasa ada kejanggalan dalam diri Sawa’ ibn Qais; mereka heran kenapa Sawa’ ibn Qais sanggup memperlakukan Rasulullah seperti itu? Namun mereka tidak dapat berbuat banyak karena Rasulullah s.a.w. sendiri tampak tetap lemah-lembut dan berwajah ceria kepada Ibn Qais.

“Bukankah tidak boleh kamu menjual sesuatu yang sudah kamu jual kepada orang lain, karena barang itu sudah menjadi milik orang tersebut?” Rasulullah s.a.w. membujuknya.

“Tidak, aku tidak pernah menjual kudaku ini kepada Anda. Kalau Anda keberatan, silakan datangkan saksi yang dapat membuktikan kebenaran dakwaan Anda ini,” tegas Ibn Qais kepada Rasulullah s.a.w.

Para sahabat Rasulullah terperanjat mendengar ucapan Ibn Qais yang terakhir ini; mereka bagaikan tersambar kilat.

“Celaka kamu. Tidakkah kamu menyadari sedang berbicara dengan siapa kamu sekarang ini? Ini Rasul Allah. Mustahil beliau mengucapkan sesuatu yang tidak benar!”

Rasulullah s.a.w. tetap saja tenang dan lembut dalam menghadapi persoalan itu. Pertengkaran justru mulai terjadi antara para sahabat dengan Sawa’ ibn Qais.

“Aku tidak akan menyerah begitu saja kepada kalian,” kata Ibn Qais, “dia harus menghadirkan saksi yang membenarkan pengakuannya! Titik.”

Sawa’ ibn Qais mantap sekali. Ia amat yakin tidak seorang pun dapat memberikan kesaksian yang membuatnya tunduk kepada kebenaran, karena tak satu manusia pun bersama mereka ketika terjadi transaksi jual-beli tersebut.

Betapa kesal hati para sahabat menyaksikan gelagat orang Ibn Qais. Mereka tidak meragukan sedikit pun bahwa ia berbohong tetapi tak sudi menyerah. Mereka bingung, tidak tahu apa yang harus mereka lakukan terhadap orang Badui itu. Apalagi menyaksikan Rasul s.a.w. yang tetap tenang dan lembut.

Tiba-tiba muncul seseorang dan bergabung ke dalam kerumunan orang-orang itu. Khuzaimah al-Anshari, namanya. Setelah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, ia spontan berkata tanpa basa-basi, “Aku saksinya. Akulah yang melihat, mendengar, dan menyaksikan bahwa Rasul s.a.w. benar-benar telah membeli kuda ini darimu, dan kamu telah menjualnya kepada beliau.”

Mendengar pernyataan Khuzaimah yang meluncur bagaikan anak panah ini, mulut Ibn Qais langsung menjadi terkatup. Tidak mampu lagi ia bercakap. Apa yang menjadi tuntutannya sudah terpenuhi. Ia pun menyerah kepada kebenaran yang ia khianati.

Namun kini giliran Rasulullah s.a.w. yang mengajukan pertanyaan kepada Khuzaimah, “Gerangan apakah yang mendorongmu membuat kesaksian seperti itu, padahal kamu tidak hadir bersama aku dan orang itu ketika terjadi transaksi jual-beli yang diingkarinya itu?”

“Wahai Rasulallah —semoga salam, rahmat, shalawat dan berkat Ilahi tetap tercurah atasmu sekeluarga— aku menjadi saksi atas kebenaran semua pernyataanmu tentang berita-berita besar yang Anda terima dari Sang Pencipta alam semesta, Penguasa dunia dan akhirat. Maka gerangan apakah sebabnya yang membuatku tidak menjadi saksi atas kebenaran pernyataanmu tentang transaksi jual-beli seekor kuda?”

Rasulullah tertegun mendengar pernyataan sahabatnya yang tulus itu; yang mampu secara spontan menerjemahkan keimanannya terhadap kenabian beliau secara sederhana tapi gamblang. Rasul s.a.w. —yang selalu menghargai cinta dan ketulusan orang lain dengan cinta dan ketulusan yang lebih besar— langsung bersabda: “Kesaksian Khuzaimah senilai kesaksian dua orang jujur dari umatku. Barangsiapa yang Khuzaimah memberikan kesaksian atas keabsahan dakwaannya atau kebatilan tuntutannya, maka cukuplah yang demikian itu menjadi sandaran yang adil bagi sebuah putusan yang benar.”

Tidak ada keraguan sama sekali bahwa ketulusan Khuzaimah tersebut adalah bagian dari sikap penghambaannya kepada Allah SWT. Karena itulah Allah SWT memberikan penghargaan kepadanya dengan mengizinkannya bersujud kepada-Nya di atas hamparan yang tersuci dari seluruh ciptaan-Nya yang suci.

Di suatu pagi, Khuzaimah berkata kepada Rasulullah s.a.w., “Wahai Rasulallah, semalam aku mimpi bersujud di atas dahimu.”

Maka dengan serta-merta Rasul yang mulia itu bertelentang, dan dengan penuh kelembutan beliau berkata kepada sahabatnya itu: “Ayo, realisasikanlah mimpi itu. Buktikanlah bahwa yang engkau alami dan engkau saksikan semalam adalah suatu kebenaran.” Maka bersujudlah Khuzaimah al-Anshari kepada Allah di hamparan tersuci itu, di atas dahi Rasulullah s.a.w.


Yakinlah pada janji Allah

Ya Allah Tabahkan hati kami menuju jalanMu

No comments: